Sunday, May 24, 2009

Melindungi Telur Maleo dari Penggorengan

Induk maleo kini tak perlu khawatir lagi meninggalkan telurnya terkubur dalam lubang pasir yang hangat. Sarang-sarang maleo yang tersebar di sepanjang Pantai Binerean kini aman dari pencurian dan penjarahan sejak kawasan itu ditetapkan sebagai pantai pribadi maleo.

Sepanjang hari telur-telur mereka akan dijaga oleh seorang petugas. Lembaga konservasi Wildlife Conservation Society (WCS) dan Pelestari Alam Liar dan Satwa (PALS) bekerja bahu-membahu melindungi kawasan yang diperkirakan berisi 40 sarang maleo itu.

Biasanya, maleo akan menggali lubang lebih dari setengah meter untuk menyembunyikan telurnya dari binatang predator. Sekitar 60 hari kemudian, telur itu akan menetas. Istimewanya, begitu keluar dari telurnya, anak-anak maleo langsung bisa terbang dan mencari makanan sendiri.

Berbeda dengan anak unggas lain yang masih berbulu halus dan perlu berhari-hari untuk berganti bulu, sayap anak maleo telah tumbuh sempurna. Kecepatannya berlari dan terbangnya juga sudah semahir unggas dewasa. Itu semua berkat nutrisi dalam telur maleo yang bisa lima kali lipat dari ukuran telur ayam, tapi membuat telur itu juga diincar manusia untuk dijual maupun dikonsumsi.

John Tasirin, koordinator program WCS di Sulawesi, amat optimistis status baru pantai di Tanjung Binerean itu bisa menjamin kelangsungan hidup burung yang menjadi simbol kekayaan sumber daya hayati di Sulawesi tersebut. Mereka juga membangun sebuah stasiun riset sederhana di lahan itu.

"Tanah itu terisolasi, tak ada jalan yang menghubungkannya ke jalan besar sehingga amat menguntungkan bagi upaya konservasi yang kami lakukan," katanya. "Untuk mencapai tanjung tersebut, orang harus berjalan kaki dari Desa Mataindo dengan menyeberangi anak sungai dan sebuah sungai besar.

Binerean, kata John, adalah lokasi yang amat potensial untuk menyelamatkan sarang tempat maleo bertelur. Burung seukuran ayam dengan dahi yang seolah sedang memakai helm hitam itu memang amat pemilih. Dia tidak bisa bertelur di sembarang tempat.

Satwa endemik Sulawesi itu hanya mau bertelur di tempat yang memiliki sumber panas bumi atau di pantai berpasir yang hangat. Salah satu tempat bertelur maleo yang masih tergolong bagus ada di Tambun, di dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, Bolaang Mongondow. Letaknya tak jauh dari Gunung Ambang yang masih aktif sehingga banyak sumber air panas ditemukan di sana. Sumber air panas inilah yang dimanfaatkan maleo untuk menghangatkan tanah tempat telur terkubur.

Burung hitam dengan perut merah jambu dan bermuka kuning itu kini jumlahnya di alam diperkirakan tinggal 5.000 hingga 10 ribu ekor. Populasi burung famili Megapodidae atau berkaki besar ini terus menurun sehingga masuk kategori Endangered atau terancam punah dalam IUCN Red List 2009.

Menurut situs BirdLife, dari 142 lahan tempat bertelur yang masih ada atau sempat diketahui, 48 di antaranya telah ditinggalkan, 51 sangat terancam, dan 32 lainnya masuk kategori terancam. Hanya empat nesting ground yang bisa dibilang belum terancam sedangkan status tujuh situs lainnya tidak diketahui. Jumlah telur di setiap situs bertelur pun semakin sedikit.

Di Tambun Nesting Ground, misalnya, jumlah telur yang ditemukan maksimal lima butir per hari, itu pun pada musim bertelur antara Januari-April. Sebelum 1990, telur maleo yang ditemukan di lokasi bertelur bisa mencapai 40 butir setiap hari.

Sumber : www.tempointeraktif.com/hg/sains/2009/05/22/brk,20090522-177608,id.html

No comments:

Post a Comment